CERPEN KIDUNG-KIDUNG SUNYI

Kidung Kidung Sunyi

Cerpen Kehidupan

Suara kumandang adzan melengking-lengking di petala langit. Para jamaah burung pun kembali menuju sarangnya di balik pohon waru dan asam jawa yang banyak tumbuh di pinggir ladang dan sawah. Rupanya mereka mendengar panggilan adzan dan hendak menghadap Tuhan. Pada saat yang sama, suara pluit kereta api yang meraung-raung memecah suara adzan hingga kemerduannya sedikit meliuk-liuk macam mobil oleng. Setelah itu datanglah seorang pemuda yang terpontal-pontal dengan membawa tas cangklongnya dari seberang jalan. Ia menyeberang rel kereta api untuk mencapai masjid yang berdiri di tepi sawah tersebut.

Ia melepas sepatu pantofelnya dan meletakkannya di sebelah sebuah sandal jepit yang sudah terbakar terik matahari. Lalu ia berjalan menuju tempat wudhu. Di tempat wudhu matanya terperanjat setelah melihat sebuah tas hitam di pojok gantungan. Ia mendekati tas itu dengan tubuh gemetar. Ia menengok ke dalam kamar mandi. Tidak ada seorang pun yang sedang mengambil wudhu maupun buang air. Lalu ia meraih tas hitam tersebut dengan tangan bergetar. Ia hendak melaporkannya kepada pengurus takmir masjid. Pasti pemiliknya ada di dalam masjid dan lupa mengambil tasnya. Atau pemiliknya pikun. Ia tidak tahu pasti.

“Anda menemukannya di mana?” tanya pengurus takmir masjid, seorang bapak-bapak bertubuh kurus dan kumis melintang hitam. “Saya menemukan tas ini di gantungan dekat kamar mandi, Pak,” jawab pemuda itu dengan jujur. “Apakah Anda tahu isinya apa?” selidik pengurus takmir masjid. “Demi Allah, saya tidak tahu apa-apa soal isi dari tas tersebut, Pak. Dan saya sama sekali tidak berani membuka barang yang bukan milik saya,” tutur pemuda itu menjelaskan. “tolong Bapak umumkan kepada para jamaah masjid. Siapa tahu pemiliknya lupa atau pikun sehingga tidak membawa tasnya!” “Terima kasih. Nanti setelah salat akan saya umumkan!” “Baik, Pak. Terima kasih!” “Sama-sama, Anak muda!”

Pemuda itu merasa lega dengan jawaban kepastian dari pengurus takmir masjid itu. Lalu ia masuk ke dalam masjid dan duduk bersila di dekat seorang bapak-bapak paro baya. Usianya kira-kira 75 tahun. Perawakannya agak tinggi dan masih tegap duduk. Namun wajahnya sudah keriput. Ia bersalaman dengan pria paro baya itu.

“Sampeyan masih kuliah?” tanya pria paro baya itu dengan berkata pelan. Nyaris seperti berbisik. “Iya, Pak.” “Di mana dan jurusan apa?” “Jurusan Teologi Islam di Unisma, Pak.” “Sampeyan suka membongkar asal-usul agama?” “Betul sekali, Pak. Saya sedang mencari asal-usul agama yang tertua di atas dunia ini,” jawabnya menjelaskan. “Bagus. Soalnya saya sendiri juga bimbang kalau Islam bukanlah agama tertua di dunia.” “Apakah bapak orang Islam?” tanya pemuda itu heran. “Saya memang Islam, tapi Islam KTP. Hehehe!.” Bapak tua itu berkelekar. “Lalu, apakah Bapak tahu agama tertua itu agama apa?” “Sampeyan nanti bakalan tahu juga.” Tukas bapak-bapak paro baya itu.

Setelah itu iqamat dilantunkan. Pertanda waktu salat Ashar sudah masuk. Para jamaah pun berdiri dan maju ke barisan shaf paling depan. Saat itu kipas angin di langit-langit masjid membelai-belai ubun-ubun jamaah dengan lembut.

Selesai salat, sesuai dengan yang dijanjikan kepada pemuda itu, pengurus takmir masjid mengumumkan ihwal penemuan sebuah tas di gantungan kamar mandi masjid. Pengurus takmir juga menjelaskan ciri-ciri tas yang ditemukan itu. Spontan, bapak-bapak paro baya itu bangkit dari duduknya dan maju ke depan dekat dengan mihrab masjid.

“Benarkah ini tas milik Bapak?” tanya bapak-bapak pengurus takmir masjid kepada si pemilik tas itu. Pada saat yang sama, pemuda itu juga kaget karena ternyata bapak-bapak yang duduk di sebelahnya itu adalah si pemilik tas yang ditemukan olehnya. “Benar, Pak. Ini tas milik saya.” bapak-bapak paro baya itu meyakinkan pengurus takmir masjid. “Alhamdulillah!”

“Kalau boleh tahu, siapakah orang yang telah menemukan tas ini, Pak? “Pemuda itu!” pengurus masjid menunjuk ke arah pemuda itu dengan jempol tangan kanannya. Dan pada saat yang hampir sama, bapak-bapak paro baya tersebut menengok ke arah pemuda yang ditunjuk. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat pemuda itu!. “Mas, silakan ke sini!” pinta pengurus masjid kepada pemuda itu.

Maka, mau tidak mau pemuda itu bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri kedua pria yang berdiri di depan. Semua jamaah yang menyaksikan kejadian itu pun terkagum-kagum atas kejujuran si pemuda. Sebab di zaman edan seperti sekarang ini sangat jarang orang yang berbuat jujur. Apalagi Indonesia dihantam oleh pagebluk bernama Corona. Makan dan kerja saja sudah susah, masih mau berbuat jujur!.

“Benarkah sampeyan yang telah menemukan tas ini?” tanya bapak-bapak paro baya itu kurang yakin. “Demi Allah, Bapak benar.” Sahut pemuda itu meyakinkan. “Subhanallah! Apakah Nakmas tahu, apa isi di dalam tas ini?” “Demi Allah, saya sama sekali tidak tahu apa isi dari tas ini. Karena tas ini bukan milik saya,” jawab pemuda itu.

Setelah itu, bapak-bapak si pemilik tas itu membuka risleting tas dan membuka isinya seperti membongkar sebuah peti harta karun. Semua mata terperanjat melihat isinya. Termasuk para jamaah. Dan yang membuat mereka heran sekaligus geram, kenapa pemuda itu tidak mengambil isi tas dan justru mengembalikan kepada pemiliknya?!. Bodoh!. Kalau mereka jadi pemuda itu, sudah barang tentu akan mengambil isinya dan membuang tasnya.

Selama ini pemuda itu tinggal di sebuah rumah susun di pinggiran kota. Tiap hari Kamis sampai Minggu ia pulang. Di sana ia tinggal berdua dengan ayahnya yang sudah tua. Sementara rumah peninggalan satu-satunya dari almarhum neneknya sudah balik nama atas orang lain yang sepatutnya tidak mendapatkan warisan sepeser pun. Itu terjadi setelah kejadian tahun 1995 silam. Neneknya yang buta huruf diminta untuk memberi cap jempol di atas sebuah surat bermaterai yang ditanda-tangani oleh notaris bejat. Tanpa melihat isi surat neneknya langsung membubuhi cap jempol tangannya asli. Atas kejadian itu rumah dan tanahnya lansung pindah tangan menjadi milik orang lain. Tapi bukan neneknya yang menerima uang melainkan keponakan rakus yang menikmati uangnya.

Lalu setelah kematian nenek dan ibunya, ayah dan pemuda itu harus angkat kaki dari rumah itu. Lalu mereka menyewa sebuah rumah di rusunawa. Untuk bisa membayar uang sewa dan kebutuhan sehari-hari, ayahnya bekerja sebagai montir bus yang kini semakin tercekik. Sedangkan pemuda itu melanjutkan kuliah nyambi membuka les privat. Tapi sejak Corona mewabah, job les privatnya turut sepi.

“Assalamualaikum!” seseorang menguluk salam dari luar rumah. “Waalaikumsalam!” pemuda itu menjawab salam seraya membuka pintu untuk tamunya. Baru saja ia membuka pintu, matanya langsung melihat dua orang mas-mas ganteng berpakaian dinas sedang berdiri sambil memegang map di tangannya. Keduanya lantas menerbitkan senyum. “Mas, uang sewa mas sudah menunggak tiga bulan,” katanya kalem tapi menyengat di kalbu. “apakah mas akan memperpanjang sewa dengan melunasi tunggakan yang tiga bulan, atau biar orang lain yang meneruskan sewa rumah ini?” “Insya Allah, dua hari lagi akan saya lunasi uang sewa yang tiga bulan, Mas.” sahut pemuda itu. “atau sekalian saja saya juga akan membayar uang sewa selanjutnya.” Kedua pegawai dinas perumahan itu saling berpandangan. Lalu salah satu dari mereka mengangguk. “Baik. Kami akan memberikan waktu dua hari untuk mas agar melunasi uang tunggakan sewa. Tapi kalau tidak, maka kami terpaksa akan mengganti penghuni rumah ini!” kata pegawai yang satunya dengan berkata kalem tapi penuh dengan nada ancaman. “Baik, Mas.” “Silakan mas langsung datang ke Mal Pelayanan Publik!”

Setelah itu, dua pegawai dinas perumahan itu pergi dan menemui penghuni rusun yang mengalami hal yang sama: menunggak uang sewa!. Pemuda itu mengela napas panjang. Ia sedikit lega. Tapi dadanya belum benar-benar lega. Karena dirinya harus menepati janjinya kepada kedua pegawai dinas itu untuk melunasi uang tunggakan sewa dalam jangka waktu dua hari. Ya dua hari!. Memangnya dapat dari mana dirinya uang dalam waktu yang singkat. Apalagi biaya sewanya tidaklah murah. Kalau dirinya tidak bisa melunasinya, maka dia dan ayahnya akan didepak dari rusunawa. Lalu, kalau mereka berdua didepak mau tinggal dimana setelah itu? Menggelandang?.

Ia lalu teringat dengan tas hitam yang tadi siang ditemukan olehnya. Sebab isi dalam tas itu adalah barang-barang perhiasan dan uang berbungkus-bungkus yang dibungkus dengan koran bekas. Andai saja ia tahu kalau ternyata isinya barang berharga dan uang, tentu saja dirinya tidak akan memberikan kepada pemiliknya. Ia akan menggunakannya untuk keperluan dirinya sendiri. Ah, andai saja ia tahu. Pasti dirinya bisa melunasi tunggakan sewa atau membayarnya untuk lima tahun ke depan. Ah, betapa bodohnya dirinya!.

“Kenapa aku sebodoh dan selugu itu?” tanyanya membatin. “ah, andai saja aku tahu tadi kalau isinya ternyata itu, sudah pasti aku tidak kesulitan seperti ini.”

Gadis itu sudah merasa kalau hidup di dunia ini sudah tidak berarti lagi bagi dirinya. Di atas rel kereta api ia merebahkan tubuh mungilnya dan membiarkannya dilindas oleh roda-roda ular besi hingga menjadi cincangan-cincangan daging. Ia rela mati dalam keadaan tidak wajar dengan menyerahkan nyawanya kepada kereta api daripada harus menikah dengan pemuda bejat yang sama sekali tidak ia cinta. Ia lebih baik mati daripada harus menjadi istri dari orang yang hanya menginginkan kecantikannya.

Pada saat itu, suara klakson kereta api sudah terdengar dari jauh. Gadis itu memejamkan kedua matanya. Keringat dingin seketika membajiri sekujur tubuhnya. Ia siap mati meski dirinya masih merasa berat untuk meninggalkan ayahnya yang tercinta. Tapi ini semua gara-gara ibunya yang hendak menjodohkannya dengan pemuda yang bukan pilihan hatinya. Ia menangis. Sementara suara roda-roda kereta api semakin mendekat. Semakin lama suara gesekan roda itu semakin dekat. Dan roda-roda kematian dirinya juga semakin dekat.

Tapi sebuah keajaiban datang! Tubuhnya tidak terlindas oleh roda-roda kematian. Dan kereta api pun berlalu. Lalu gadis itu membuka kedua matanya dan betapa ia terkejut ketika seorang pemuda telah menyelamatkannya dari roda-roda kematian. Gadis itu pun kesal.

“Kenapa kamu hendak melindaskan dirimu pada kereta api? Apakah kamu sudah bosan hidup?” tanya pemuda itu. “dan bukankah kamu sudah tahu kalau bunuh diri itu sangat dilarang oleh semua ajaran agama?” “Siapa kamu?!” gadis itu tampak kesal kepada si pemuda. “kenapa kamu ikut campur urusan hidupku?” “Aku bukan bermaksud mencampuri kehidupan pribadimu. Tapi aku hanya ingin membawamu dari laknat Allah,” jelas pemuda itu. “bunuh diri bukanlah solusi terbaik melainkan hanya membuatmu mendapat laknat Allah.” “Kamu tidak tahu tentang masalah yang sedang aku hadapi!” “Nona, sebuah masalah adalah hidangan dari langit kenapa kamu malah musti menyelesaikannya dengan bunuh diri? Seharusnya kamu menerimanya dengan ikhlas.” “Jangan ceramah!” “Saya bukannya mau ceramah. Namun saya hanya mau memberitahu yang sebenarnya.” sahut pemuda itu.

Dari kejauhan tampak dua orang suami istri yang sama-sama sudah tua. Mereka berdua berjalan dengan agak berlari. “Ira, kenapa kamu melakukan ini?” tanya sang ayah kepada putrinya itu. “Ira Lebih baik mati mati daripada harus menikah dengan pemuda yang sama sekali bukan pilihan hati Ira, Pak.” sahut putrinya dengan tegas. “Iya. Tapi tidak harus diselesaikan dengan cara bunuh diri, Nak.”

“Ira, Ibu minta maaf. Gara-gara Ibu kamu melakukan ini,” kata ibunya dengan raut muka dihinggapi penyesalan. Airmatanya meleleh. “kamu boleh menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatimu.” “Terima kasih, Nak. Sampean telah…” kata bapak-bapak paro baya itu tapi kalimatnya terhenti ketika dia teringat dengan wajah pemuda yang berdiri di hadapannya itu. “lho! Bukankah sampeyan yang kemarin telah mengembalikan tas milik saya?” “Iya, Pak.” Pemuda itu mengulum senyum.

Lalu bapak-bapak itu bercerita kepada anak dan istrinya tentang ihwal penemuan tas yang ditemukan di masjid. Dan ia juga bercerita bahwa pemuda itulah yang telah menemukan tas tersebut.

“Sampeyan memang seorang malaikat yang memiliki hati penolong, Nakmas!” puji bapak-bapak paro baya itu. “seandainya saya mempunyai anak lelaki seperti sampeyan, pasti saya akan membanggakan di hadapan para malaikat. Oh iya, Nakmas. Apakah sampeyan sudah mempunyai calon istri?” “Be-belum, Pak.” Sahut pemuda itu dengan tersipu malu. “Karena sampeyan telah menyelamatkan tas sekaligus nyawa putri saya, apakah sampeyan bersedia apabila saya nikahkan dengan putri saya, Humaira Az-Zahra?”

Duhai Allah, pemuda itu menangis mendapat karunia besar dari Allah. Atas keteguhan dirinya dalam menjaga hatinya agar selalu bersih dan putih bercahaya dari sifat-sifat buruk, dirinya dianugerahi dua karunia besar sekaligus, yaitu istri yang salihah dan harta yang barakah di sisi Allah.

“Sa-saya bersedia, Pak.” “Bagaimana, Ira? Apakah kamu bersedia apabila bapak nikahkan kamu dengan pemuda saleh ini?”

Gadis itu tidak menjawab, tapi sejak itu benih-benih kekaguman terbit di dalam hatinya

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

5 Kewajiban Istri Terhadap Suami dalam Islam